Menarik bahwa ada yang menyebut media
sosial sebagai suatu medan bagi perang ide. Benarlah, sebab tidak lain dalam
peperangan yang ada hanyalah melempar serangan, serangan dan serangan. Tidak
ada sedikitpun ruang untuk mendengar, nyaris tidak ada ruang untuk mengoleksi
serpihan fakta yang utuh demi mencapai rekonsiliasi.
Bahwa di media sosial, banyak manusia
dipaksa mengangkat senjata oleh karena gambaran parsial tentang seekor gajah. Alih-alih
menjadi identitas prinsip yang luhur, ragam warna manusia seolah-olah menjelma
penghalang, yang menihilkan keadilan sejak dalam pikiran.
Dan manusia dipaksa bicara, meski hakikat
belum menampakkan batang hidungnya. Pun manusia dipaksa bicara, dengan sebuah
pertaruhan atas keberadaan azasi dirinya. Locutus
sum, ergo sum. Aku berbicara, oleh sebab itu aku ada.
0 Chirping sounds:
Posting Komentar